Reuters: Top News

Monday, May 19, 2008

Sosial Budaya

Aku menyaksikan tayangan tv tentang peristiwa terbakarnya rumahrumah penduduk di Desa Saningbaka dan Muara Pingai Kabupaten solok di pinggiran danau Singkarak.Soalnya berkaitan dengan sengketa tapal batas pedesaan.Aku terenyuh,dan hatiku luka melihatnya.Luka itu semakin dalam, setelah tayangan kunjungan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi menyatakan bahwa sengketa ini telah berlangsung semenjak 2004 yang lalu.Memprihatinkan.

Apakah sudah tak berfungsi lagi kearifan lokal ? Institusi sosial seperti Kerapatan Adat Nagari?Institusi keagamaan seperti Imam Khatib ? Dan lain sebagainya komponen masyarakat Minangkabau, seperti para tungganai, para penghulu suku,ninikmamak, alim ulama, cerdik pandai , para pemuda dan tetua "parik paga" dalam Nagari.

Apakah nilai-nilai keminangkabauan tidak jadi acuan lahi dan kehidupan bersama ?Khususnya yang mendasar " Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah" yang merupakan pilar utama kehidupan di Minangkabau.

Memang tidak mudah menjawab pertanyaan demikian. Karena berbagai faktor, antara lain posisi penulis yang jauh berada di perantauan yang menyulitkan untuk melihat fakta langsung.

. Namun melalui kolom ini, penulis merefleksikan keprihatinan penulis terhadap kasus yang melanda komunitas pedesaan di bibir Danau Singkarak nan indah ini. Asumsi-asumsi penulis selama ini, tentang nilai-nilai
sosial-budaya Minangkabau yang jadi acuan luhur bagi penulis, menjadi jungkir
balik.

Asumsi kehidupan harmonis masyarakat pedesaan Minangkabau yang merupakan kesatuan wilayah dan geneologis,yang menjadi perekat kehidupan "beradat salingka nagari, basuku salingka kaum". Adat (lore)yang menjadi identitas komunitas (folk) teryata dewasa ikut mengalam krisis ekologi dan dilanda dis-integrasi.Kepeminpinan tidfak lagi didukung orang banyak.Krisis nilai-nilai budaya makin terasa.Niulai-nilai lama seperti " ado adaik ateh mupakaik,abih adaik bakarilaan" tak dipedulikan lagi. Sudah semakin gelap, dalam kenyataan.

Demikian juga Saningbaka yang penulis kenal lewat catatan Rafles yang mengunjungi Minangkabau dari Bengkulen tempo doeloe. Adalah Nagari Tua yang telah merawat sosial budaya dan peradaban sejak lama. Banyak sekali anak Nagari Saningbaka memiliki reputasi seni budaya . Dan dalam sejarah cikal bakal komunitas Kota Tangah Padang berasal dari Saningbaka

Ada apa sebenarnya di balik kejdian ini? Apakah kejadian ini " sebab" atau " akibat"? Bagaimana membayangkan sebuah Nagari beradap yang kita kenal, kini tiba-tiba menjadi " anarkis", main hakin sendiri. Aneh dan tidak masuk akal.?Atau ini berarti sudah saatnya dilakukan Kongres atau Musyawarah Adat dan Kebudayaan Minangkbau. Agar dapat diperoleh pemahaman baru, karena seperti ungkapan "adat dipakai baru,kain dipakai usang" Karena itu "lap[uak-lapuak deikajangi, usang-usang dipabaru"

Terakhir penulis mengharapkan kasus ini di selesaikan secara tuntas dan proporsional. Artinya masalah " sako" dielesaikan secara musyawarah. Masalah pusako (perdata} diselesaikan di pengadilan.Demikian juga masalaj pidana (anarkis} diselesaikan secara hukum yang berlaku. ***)

No comments: