Reuters: Top News

Friday, August 29, 2008

GOLPUT & KOMUNIKASI POLITIK

Ada apa dengan golput ? Golongan putih disini adalah selisih dari jumlah pemilih yang berhak memilih dengan bagian yang memberikan suara di kotak suara.Misalnya untuk Pemilu tahun 2004 angkanya 20 % dan angka ini diprediksi oleh Survei Indo Barometer (Juni 2008) cenderung meningkat menjadi 20-30 persen.
Dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejak beberapa tahun terakhir pasa masa administrasi SBY/JK, angka golput juga cenderung bergerak naik. Lihat Pilkada pada tahun 2005, angka golputnya masing-masing : Kalimantan Selatan 40 %, Sumatera Barat
37 %, Jambi 34% Kepulauan Riau 46 %.
Angka-angka ini berkurang sedikit pada Pilkada tahun 2006, yaitu di Banten 40 %, DKI 35 % dan Jawa Barat 33%. Terakhir pada pilkada tahun 2008 yang diselenggarakan di Jawa Tengah angka golput naik lagi menjadi 44%. Demikian juga di Sumatera Utara yang menyelenggarakan Pilkada dalam tahun yang sama ,golput 43 %.
Trend angka angka golput yang meningkat ini memang mencemaskan banyak pihak.Karena dibalik angka angka tersebut berbentang berbagai makna. Antara lain makin buruknya kinerja partai politik di Indonesia sekarang, makin rendahnya tingkat kepercayaan rakyat pada lembaga pemerintahan .Baik di cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pada pihak lain dikhawatirkan dapat menyulitkan komunikasi politik, khususnya untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan mendorong partisipasi masyarakat. Atau komunikasi politik dalam rangka kampanye Pemilu yang akan berlangsung sampai sembilan bulan kedepan.
Jelas siatuasi ini membuat kelimpungan para komunikator politik . baik meraka yang berasal dari pejabat pemerintah maupun dari partai politik, para pemimpin organisasi masyarakat, kelompok kepentingan dan kalangan elit.
Apalagi hal ini berlangsung di tengah keadaan ekonomi dunia yang sedang di landa krisis pangan dan energy, harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik, pengangguran makin meluas, kemiskinan makin merebak.
Masalahnya adalah bagaimana melakukan komunikasi politik dalam situasi krisis ? Bagaimana memetakan struktur pemilih dan menentukan prioritas target yang akan dicapai. Bagai menyusun materi program strategis untuk ditawarkan. Atau bagai memilih issu-issu yang menyentuh kepentingan kehidupan para pemilih di suatu tempat dan waktu. Serta saluran -saluran komunikasi apa saja akan digunakan untuk jaringan sampai ke akar rumput ?Inilah tantangan yang harus dihadapi partai politik, baik besar maupun kecil.
Dari sisi kebudayaan politik atau tepat kebudayaan kewargaan negara (Civic Cultural ) , komunikasi politik dalam arti penyampaikan pesan-pesan politik - merupakan landasan utama bagi partisipasi effektif warga negara dalam negara demokrasi. Artinya dengan komunikasi politik yang baik, rakyat makin aktif untuk mengikuti perkembangan politik.
Kebudayaan politik dengan demikian akan ditandai oleh makin terbukanya berbagai saluran komunikasi politik . Baik komunikasi melalui organisasi, komunikasi massa, atau komunikasi tatap muka. Artinya komunikasi politik yang baik, akan menyediakan rasa entusias warga untuk terlibat dengan proses politik. Baik dalam menentukan pemegang jabatan legislatif maupun eksekutif dan jabatan publik lainnya .
Kebudayaan politik yang baik akan menimbulkan rasa kewajiban berpartisipasi anggota masyarakat dalam aktifitas politik. Sekaligus kebudayaan politik yang baik akan menumbuhkan rasa kompetensi masyarakat untuk berpartisipasi. Seperti dinyatakan oleh ahli komunikasi politik Almond dan Verba :" Kemauam untuk terlibat dan mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan suatu negara -merupakan komitmen warga negara bersangkutan"
Kebudayaan politik dapat terganggu oleh berbagai faktor. Antara lain jika terjadi hal -hal yang bias atau menyimpang dalam kumunikasi politik. Katakanlah bila pihak warganegara tidak memiliki pengetahuan dan imformasi politik yang memadai akibat kurang penerangan dari komunikator politik.
Kebudayaan politik tidak akan effektif manakala warga merasa tidak bebas atau merasa terancam keselamatannya dalam aktifitas politik. Misalnya karena trauma akibat prilaku anarkis yang timbul dari proses komunikasi politik , atau merebaknya komplik horizontal akibat sengketa pemilihan yang tak terselesaikan.
Oleh karena itu, dari balik angka-angka golput yang terus meningkat. sepatutnyalah komunikasi politik di perbaiki. Baik dalam memilih issu-issu yang akan ditawarkan , maupun jaringan atau saluran yang akan digunakan.Prioritaskanlah issu-issu yang menyentuh kehidupan real masyarakat.
Mengingat politik itu " siapa mendapatkan apa, dan semua mendapat ", upayakanlah proses yang fair dan real. Artinya dapat memuaskan pihak-pihak yang melakukan komunikasi politik. Diharapkan dari komunikasi politik yang baik, muncul kesadaran bersama bahwa politik merupakan fungsi dari komunikasi.
Karena komunikasi (common) berarti menjadikan sesuatu pesan sebagai pengetahuan bersama-Maka terjadinya komunikasi , pada dasarnya adalah suatu usaha menegakkan "kebersamaan" atau Kebudayaan Politik (Civic Cultural) .
Dalam Kebudayaan Politik yang komunikatif tersebut, terjadilah suatu "transaksi" yang saling memuaskan antara pihak yang memberi pesan dan pihak penerima pesan . Disinilah makna dari demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat -yang aktif berpartisipasi dalam komunikasi politik. Baik terlibat memilih mereka yang akan menduduki jabatan politik. maupun proses pengambilan kebijakan/ keputusan aktifitas Negara.
Harold Lasswell mengatakan bahwa komunikasi itu " Who says what to whom, with what channel and with what effect" yang dikenal sebagai Lasswellian framework .

No comments: